Laman

Sabtu, 31 Desember 2011

Hukum Mengacungkan Tangan Saat Shalat Dalam Islam

Hukum Mengacungkan Telunjuk Saat Duduk Antara Dua Sujud
Mengacungkan telunjuk di saat shalat, yang lazim dan umum di antara kaum muslimin adalah saat duduk tasyahud, baik awal maupun akhir. Bagaimana dengan mengacungkannya saat duduk di antara dua sujud? Apakah juga disunnahkan untuk melakukan hal tersebut?
Dalam hadits di Shahih Muslim, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdhi’ ash-Shalât, Bâb Shifat al-Julûs… (V/81 no. 1307) disebutkan bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam manakala duduk saat shalat, beliau mengacungkan jari telunjuknya. Berikut redaksi lengkap hadits tersebut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ فِي الصَّلَاةِ جَعَلَ قَدَمَهُ الْيُسْرَى بَيْنَ فَخِذِهِ وَسَاقِهِ وَفَرَشَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ“.
Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma menuturkan, “Manakala Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam duduk dalam shalat, beliau menyelipkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya dan menjulurkan kaki kanannya. Beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya serta mengacungkan jarinya”.
Masih di Shahih Muslim juga, dalam Kitab dan Bab yang sama, di (V/81 no. 1308) disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam jika duduk berdoa saat shalat, beliau mengacungkan jari telunjuknya.
Berikut redaksi lengkap haditsnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ يَدْعُو وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى وَيُلْقِمُ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ”.
Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma bertutur, “Tatkala Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam duduk berdoa, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha kirinya, serta mengacungkan jari telunjuknya sembari menggandengkan antara jempol dengan jari tengahnya, dan mencengkeramkan telapak tangan kirinya ke lututnya”.
Dua hadits di atas menunjukkan -secara global- disyariatkannya mengacungkan telunjuk saat duduk ketika shalat. Dan dua hadits tersebut masih bersifat umum, belum menjelaskan secara spesifik, duduk yang mana yang dimaksud.1
Sebagaimana telah maklum bahwa duduk ketika shalat bermacam-macam. Ada duduk tasyahud awal, duduk tasyahud tsani, duduk antara dua sujud dan duduk istirâhah2. Apakah dua hadits di atas dan yang senada mencakup empat jenis duduk tersebut, atau yang dimaksud hanyalah duduk tasyahud awal dan tasyahud tsani?
Ada beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa duduk yang dimaksud di atas adalah duduk tasyahud, baik awal maupun tsani.
Di antaranya: hadits dalam Sunan an-Nasâ’i, Kitâb al-Iftitâh, Bâb al-Isyârah bi al-Ushbu’ fî at-Tasyahhud al-Awwal (II/327), dan dinilai sahih oleh al-Albany dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (V/313 no. 2248). Hadits tersebut berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي الثِّنْتَيْنِ أَوْ فِي الْأَرْبَعِ يَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ أَشَارَ بِأُصْبُعِهِ“.
Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma menceritakan, “Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam manakala duduk di raka’at kedua, atau di raka’at keempat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya lalu mengacungkan jarinya”.
Senada dengan hadits di atas, hadits dalam Shahîh Ibn Khuzaimah, Kitâb ash-Shalat, Bâb Wadh’i al-Fakhidz al-Yumnâ ‘alâ al-Fakhidz al-Yusrâ… (I/367 no. 697), dengan redaksi berikut:
عن وائل بن حجر قال : “صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم، فكبر حين دخل في الصلاة، ورفع يديه، وحين أراد أن يركع رفع يديه، وحين رفع رأسه من الركوع رفع يديه ووضع كفيه وجافى يعني في السجود وفرش فخذه اليسرى، وأشار بأصبعه السبابة يعني في الجلوس في التشهد“.
Wa’il bin Hujur radhiyallahu’anhu mengisahkan, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Beliau bertakbir sembari mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat. Tatkala akan ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya, juga manakala bangkit dari ruku’. Manakala sujud, beliau meletakkan kedua telapak tangannya dan melebarkannya. Beliau menjulurkan kaki kirinya dan mengacungkan jari telunjuknya, yakni tatkala duduk tasyahud”.
Hadits riwayat an-Nasa’i dan Ibn Khuzaimah di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan duduk yang disyariatkan didalamnya mengacungkan jari telunjuk, bukanlah sembarang duduk, namun yang dimaksud adalah duduk saat tasyahud, baik awal maupun tsani.
Kaidah ilmu Ushul Fiqh menyatakan “Yuhmal al-Muthlaq ‘alâ al-Muqayyad” (nas yang bersifat global dipahami berdasarkan nas yang bersifat terperinci).
Adapun duduk antara dua sujud, juga duduk istirâhah, maka tidak disyariatkan mengacungkan telunjuk, sebab tidak adanya dalil yang menunjukkan praktek tersebut. 3
Namun demikian, barangkali ada pembaca yang berkomentar bahwa ada ulama yang berpendapat disyariatkannya mengacungkan telunjuk saat duduk antara dua sujud.4 Argumentasinya: hadits yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abd ar-Razzâq, Bâb Takbîrah al-Iftitâh wa Raf’i al-Yadain (II/68 no. 2522), bunyinya:
عن وائل بن حجر قال: “رمقت النبي صلى الله عليه وسلم … ثم جلس فافترش رجله اليسرى، ثم وضع يده اليسرى على ركبته اليسرى، وذراعه اليمنى على فخذه اليمنى، ثم أشار بسبابته، ووضع الابهام على الوسطى حلق بها، وقبض سائر أصابعه، ثم سجد…”.
Wa’il bin Hujur radhiyallahu’anhu bertutur, “Aku memperhatikan Nabi shallallahu’alaihiwasallam (tatkala shalat) … Beliau duduk dan menjulurkan kaki kirinya, sembari meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan lengan kanannya di atas paha kanannya, lalu mengacungkan jarinya dan membuat lingkaran dengan mempertemukan ibu jarinya dengan jari tengah, kemudian beliau sujud.
Zahir hadits di atas menunjukkan bahwa saat duduk antara dua sujud pun juga disyariatkan mengacungkan telunjuk. Sebab hadits tersebut menyatakan bahwa setelah mengacungkan jari telunjuk, Nabi shallallahu’alaihiwasallam sujud. Ini menunjukkan bahwa acungan telunjuk tersebut dilakukan di antara dua sujud.5

Jawabnya: hadits tersebut bermasalah dari sisi keabsahannya. Para pakar hadits menjelaskan bahwa tambahan kalimat “kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan jarinya” hanya ada dalam riwayat Sufyan ats-Tsaury. Dan ini menyelisihi riwayat para perawi lainnya yang tsiqah (terpercaya) dan jumlah mereka lebih banyak, di mana mereka tidak menyebutkan tambahan kalimat “kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan telunjuknya”. Bahkan banyak hadits yang menjelaskan bahwa acungan jari tersebut dilakukan setelah sujud kedua. Di antara para perawi tersebut: Za’idah bin Qudamah, Bisyr bin al-Mufaddhal, Sufyan bin ‘Uyainah, Syu’bah, Abu al-Ahwash, Khalid, Zuhair bin Mu’awiyah, Musa bin Abi Katsir dan Abu ‘Awanah.6
Dalam ilmu Musthalah Hadits, jenis riwayat bermasalah seperti dicontohkan di atas, diistilahkan dengan hadits Syâdz. Definisinya: riwayat yang dibawakan perawi tsiqah, namun riwayat tersebut menyelisihi riwayat yang disampaikan para perawi lain yang lebih kuat. Dan hadits jenis ini dikategorikan dha’if (lemah).7

Kesimpulan:
Mengacungkan telunjuk saat duduk dalam shalat hanya disyariatkan dalam duduk tasyahud awal dan tasyahud tsani, adapun saat duduk di antara dua sujud maupun duduk istirâhah maka tidak disunnahkan. Wallahu ta’ala a’lam. (Abdullah Zaen).


sumber:
http://tunasilmu.com/hukum-mengacungkan-telunjuk-saat-duduk-antara-dua-sujud.html

Jumat, 30 Desember 2011

Hukum Kawin Kontrak Menurut Pandangan Islam

"Kawin kontrak itu asik," begitu yang terdetik di ruang khayal beberapa anak muda. Kenapa tidak? Dengan biaya dan tanggung jawab yang tidak berat, seorang laki-laki sudah bisa bersenang-senang dan memuaskan hawa nafsunya. Tapi tahukah mereka bagaimana hukum kawin kontrak dari sudut pandang agama? Mungkin ya mungkin juga tidak, itu sudah pasti. Biar lebih jelas, mari kita bahas.

Hukum Kawin Kontrak:
Para ulama Islam sejak dulu hingga sekarang sepakat atas haramnya kawin kontrak. Berikut ini saya petik di antara perkataan ulama-ulama Islam tentang kawin kontrak:

Perkataan Imam Ibnu Al Mundzir: "Pada masa awal Islam ada keringanan (bolehnya) kawin kontrak, tapi saat ini setahu saya tidak seorang pun yang membolehkannya kecuali sebahagian dari orang Syi'ah Rafidhah…."

Imam Al Khaththabi juga mengatakan: "Pengharaman nikah kontrak adalah sebuah ijma' (kesepakatan) kecuali oleh sebahagian orang Syi'ah. Pendapat mereka yang melegalkan kawin kontrak dengan alasan yang merujuk kepada Ali ra dan keluarganya tidak bisa diterima, sebab riwayat shahih yang bersumber dari beliau sendiri menunjukkan bahwa nikah kontrak telah dihapus.

Dasar hukum ijma' diharamkannya kawin kontrak bersumber dari dalil Al-Qur'an dan Hadits:

A. Dalil Al-Qur'an:
1. QS. Al-Mu'minun: 5-7:
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka, atau hamba-hamba sahaya yang mereka miliki; maka mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas."

Wanita yang dikawini dengan cara kontrak bukanlah isteri yang sah. Dalam hubungan suami isteri yang sah ada hak saling mewarisi, berlaku ketentuan talak yang tiga jika dibutuhkan, demikian juga 'iddah ketika terjadi talak. Sementara dalam kawin kontrak itu tidak berlaku.
2. (QS. An-NIsa': 25)

"Dan barangsiapa di antara kamu yang tidak mempunyai biaya untuk mengawini wanita merdeka yang beriman, maka (dihalalkan mengawini wanita) hamba sahaya yang beriman yang kamu miliki… (hingga firman Allah:) Yang demikian itu (kebolehan mengawini budak) adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Dan jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Jika kawin kontrak boleh, tentu Allah SWT akan menjadikannya sebagai sebuah solusi bagi mereka yang tidak mampu dan takut terhadap perbuatan zina.

B. Dalil Hadits:
1. Rasulullah Saw bersabda: "Wahai manusia, dulu aku mengizinkan kalian untuk kawin melakukan kawin kontrak. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat… (HR. Muslim).

2. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Ibnu Abbas: " Pada saat perang Khaibar, Rasulullah Saw melarang nikah kontrak (mut'ah) dan (juga melarang) memakan daging himar yang jinak." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dampak Negatif Kawin Kontrak
Dilarangnya kawin kontrak tidak terlepas dari dampak buruknya yang jauh dari kemaslahatan ummat manusia, di antaranya:

1. Penyia-nyiaaan anak. Anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayang orang tua (ayah). Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari tanggung jawab pendidikan orangtua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya terbelakang. Keadaannya akan lebih parah jika anak tersebut perempuan. Kalau orang-orang menilainya sebagai perempuan murahan, bisakah dia menemukan jodohnya dengan cara yang mudah? Kalau iman dan mentalnya lemah, tidak menutup kemungkinan dia akan mengikuti jejak ibunya.

2. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam kawin kontrak apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinan antara sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di antara mereka.

3. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak – lebih-lebih yang saling berjauhan – sudah biasanya sulit untuk saling mengenal. Penentuan dan pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat dipastikan.

4. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disini sulit memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir.

Setelah melihat sumber dari Al-Qur'an dan Hadits serta sudut pandang maslahat dan mudrat kawin kontrak, dapat kita simpulkan bahwa kawin kontrak tidak diperbolehkan di dalam ajaran agama Islam.
Wallahu a'lam…


sumber:
http://amanhasibuan.blogspot.com/2009/06/kawin-kontrak.html

Kewajiban Membalas kebaikan orang lain Menurut Islam

Ketahuilah apabila seseorang yang diberikan kebaikan, maka wajib baginya untuk berterima kasih kepadanya, berdasarkan dalil:
مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ
Barangsiapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, maka tidak bersyukur kepada Allah
(HR. at Tirmidziy; dan ia menilainya hasan shahiih; dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy)
Dijelaskan Ibnu al-Atsîr rahimahullâh
“Maknanya adalah:
- Allâh Ta’ala tidak menerima syukur seorang hamba kepada-Nya atas nikmat yang telah dilimpahkan, tatkala dia tidak pandai berterima kasih atas kebaikan manusia kepadanya. Yang demikian karena (kuatnya) hubungan kedua hal tersebut satu dengan yang lain.
- Makna lain dari hadits di atas adalah barangsiapa memiliki kebiasaan tabiat mengingkari budi baik manusia dan tidak bersyukur (berterima kasih) atas kebaikan mereka, maka niscaya dia memiliki tabiat kebiasaan mengkufuri nikmat Allâh Ta’ala dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.
- Ada pula makna lain yang terkandung dalam hadits di atas, bahwa barang siapa tidak mensyukuri (kebaikan) manusia, maka dia layaknya orang yang tidak mensyukuri Allâh Ta’ala. Semua makna ini terpetik melalui penyebutan nama Allâh Ta’ala Yang mulia (dalam hadits di atas. pen)”.
[An-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts hlm . 488; dikutip dari assunnah]
Pertanyaannya, bagaimanakah ia berterimakasih kepadanya?

1. Berterima kasih, dan mendoakan kebaikan baginya

Ketika kita mendapat kebaikan, hendaknya kita mengucapkan jazaakumullah khayran (apabila laki-laki) dan jazaakilaah khayran (apabila perempuan.
Berdasarkan hadits:
مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ ، فَقَالَ لِفَاعِلِهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا , فَقَدْ أبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ
“Barangsiapa yang diberikan sesuatu kebaikan, maka hendaknya dia ucapkan ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Sungguh hal yang demikan telah bersungguh-sungguh dalam berterimakasih.”
[Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam Al Bir was Shilah (2035) dan Ath Thabrani dalam Ash Shaghir (148/2); dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy]
‘Abdullâh bin ‘Abbâs radhiyallâhu’anhu bercerita,
“Suatu ketika, Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam masuk ke kamar kecil (untuk membuang hajat). Maka aku menyediakan air bersih untuk Beliau pakai berwudhu. Ketika Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam selesai dari hajatnya, Beliau bertanya, “Siapakah yang telah meletakkan (air wudhu) ini?” Kemudian Beliau diberitahu, bahwa akulah yang telah melakukannya. Maka Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam (membalas kebaikanku dengan) berdoa: “Ya Allâh… berikanlah dia (Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu’anhu) pemahaman dalam agama”.
[HR. al-Bukhâri no.134 dan Muslim no. 6318]
Dalam kisah yang lain, suatu saat Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam mengunjungi sebagian Sahabat dan menyantap hidangan makanan yang disajikan kepadanya di rumah mereka. Ketika Beliau telah selesai dan hendak berpamitan, bergegas tuan rumah berkata, “Rasûlullâh, tolong doakanlah bagi kami kebaikan…”. Maka Rasûlullâh membaca, “Ya Allâh… berkahilah bagi mereka semua rizki yang telah Engkau limpahkan kepada mereka. Ampuni dan sayangilah mereka”.
[HR. Muslim no.5296]

2. Membalas perbuatannya dengan balasan yang setimpal

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُ
“Barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah dengan setimpal.”
(Hr. Ahmad; lihat silsilah ash-shahiihah)

3. Apabila tidak dapat membalasnya dengan balasan yang setimpal, maka hendaknya ia mendoakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَمَنْ أَتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَعْلَمُوا أَنْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
Dan barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah (kebaikannya) dengan kebaikan yang setimpal dan jika kalian tidak mendapat sesuatu untuk membalasnya kebaikannya maka berdo’alah untuknya sampai kalian merasa telah membalas kebaikannya.”
(HR. Ahmad; dikatakan imam al-mundziriy, sanadnya shahiih atau hasan atau yang mendekatinya)
Bagaimana cara mendoakannya?
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
كَانَ يَقُولُ دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ
‘Doa seorang muslim untuk saudaranya sesama muslim dari kejauhan tanpa diketahui olehnya akan dikabulkan.
مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
Di atas kepalanya ada malaikat yang telah diutus, dan setiap kali ia berdoa untuk kebaikan, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan ‘Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.’
(HR. Muslim)

4. Senantiasa mengingat kebaikan orang yang pernah berbuat baik kepadanya; dan tidak melupakannya

Allah berfirman:
وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
…dan janganlah kalian melupakan keutamaan (siapapun) di antara kalian…
(Qs. al-Baqarah/ 2:237)
Mengenai penafsiran ayat di atas, adh-Dhahhâk rahimahullâh berkata,
“Keutamaan yang dimaksud adalah budi baik”.
Sa`id rahimahullâh berkata,
“Jangan kalian melupakan kebaikan”.
Demikian pula, Qatâdah, Abu Wâ’il, as-Suddi dan lainnya menjelaskan bahwa pengertiannya adalah
“janganlah kalian meremehkan (melupakan) kebaikan di antara kalian…”
[Lihat Tafsir at-Thabari atsar no. 5379 dan 5380, Tafsir Ibnu Katsîr 1/648-649]
Maka janganlah seseorang di antara kita mudah melupakan budi baik orang lain. Sungguh, seseorang yang melupakan budi baik orang lain adalah seseorang yang tidak pandai berterima kasih. Padahal berterima kasih kepada manusia atas kebaikan mereka adalah bagian dari makna bersyukur kepada Allâh Ta’ala.
[dikutip dari as sunnah]

5. Menyebut-nyebut kebaikan orang yang pernah berbuat baik padanya

Dan lebih baik TIDAK DIHADAPAN orang tersebut, untuk menyelamatkan orang tersebut dari UJUB, dan juga menyelamatkan diri kita dari sifat “cari muka”.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَلْيُكَافِئْ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَلْيَذْكُرْهُ فَمَنْ ذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ
siapa yang diberikan kepadanya kebaikan maka balaslah setimpal. barangsiapa yang tidak mampu, maka sebutkanlah kebaikannya, barangsiapa yang menyebut-nyebut kebaikan, maka ia telah bersyukur (berterima kasih)
(hr. Ahmad; dikatakan derajatnya oleh syikh al-albaaniy dalam shahiih at-targhiib: “HASAN LI GHAYRIHI”)
Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Aku belum pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam seperti cemburuku atas Khadijah radhiyallahu ‘anha, padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering menyebutnya.
Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong bagian kambing itu dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah radhiyallahu ‘anhu.
Terkadang aku berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Seolah tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah!’ Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau menyebut kebaikannya dan memujinya). Saya juga mempunyai anak darinya’.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Orang-orang yang paling banyak berbuat kebaikan kepada kita yang hendaknya kita tidak melupakannya

1. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
Sungguh diutusnya beliau adalah karunia yang sangat besar yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (2) وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (3) ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (4
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang bersar.
(QS. Al-Jumu’ah: 2-4)
Pengutusan Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada manusia seluruhnya menjadi nikmat yang paling agung karena menjadi sebab terhindarnya orang-orang yang mendapat petunjuk, dari adzab yang kekal. Itu semua dengan sebab iman kepada Allah dan RasulNya shollallohu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi semua yang mengantar kepada neraka dan kekekalan disana.
Oleh karena itu, kebutuhan manusia akan iman kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan semua yang dibawa beliau berupa agama ini melebihi kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, bahkan kepada udara yang menjadi sumber pernafasan mereka. Karena mereka ketika kehilangan petunjuk tersebut maka neraka adalah balasan orang yang mendustakan Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan berpaling dari ketaatan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى (14) لا يَصْلاهَا إِلا الأشْقَى (15) الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى (16
Maka, Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan (berpaling) dari iman. (QS. Al-Lail: 14-16)
Karena demikian tinggi kedudukan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah dan mendesaknya kebutuhan manusia yang demikian tingginya, maka Allah mewajibkan kepada umat ini kewajiban dan hak-hak yang mengatur ikatan dan hubungan antara mereka dengan Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Maka dengannya kita wajib untuk mengamalkan hak-hak beliau yang Allah wajibkan atas kita. (baca disini: http://muslim.or.id/manhaj/hak-dan-kewajiban-umat-terhadap-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-1.html dan disini: http://muslim.or.id/manhaj/kedudukan-sahabat-nabi-di-mata-umat-islam-2.html)
2. Para shahabat rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam (radhiyallahu ‘anhum jamii’an), serta para ulamaa’ yang mengikuti mereka dengan baik yang telah menyebarkan agama ini
Di antara jasa terbesar yang disumbangkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum kepada umat Islam adalah sebagai berikut.
- Pencatatan dan penghafalan wahyu al-Qur’an
Pencatatan dan penghafalan wahyu al-Qur’an di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan sesudahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang ummi/buta huruf. Oleh sebab itu maka beliau memilih beberapa orang sahabatnya untuk mencatat wahyu, di antara mereka ialah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ubai bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit.
- Pencatatan dan penghafalan hadits-hadits nabi
- Penjelasan tentang makna dari ayat-ayat al qur-aan dan hadits-hadits nabi
Adanya penjelasan mereka dari makna ayat maupun hadits, menjadikan kita LURUS dalam memahami keduanya; karena merekalah pertamakali diturunkan suatu ayat atau disampaikan suatu hadits. Dan merekalah DIBIMBING LANGSUNG oleh Allah dan RasulNya dalam memahami keduanya. Sehingga pemahaman mereka dalam memahami keduanya adalah TOLAK UKUR kita dalam memahami keduanya. Maka setiap pemahaman, keyakinan, ataupun amalan yang tidak kita dapati dari mereka, maka ketahuilah hal tersebut BUKANLAH SEBUAH KEBAIKAN, sekalipun kebanyakan manusia MENGANGGAPNYA sebagai sebuah “kebaikan”. Apakah MANUSIA TERBAIK, KAUM TERBAIK terluput dari kebaikan? ataukah orang-orang yang datang setelahnya MERASA LEBIH BAIK dari mereka? sungguh sangat jauh!
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat.
- Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
- Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu: Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum.
- Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar,
- lalu Ahlu Bai’ati Ridhwan
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48] : 18)
- Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath.
Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid [57]: 10)
Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah.
- Kemudian kaum Muhajirin secara umum,
- Kemudian kaum Anshar (secara umum)
Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,
“Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” [QS. Al Hasyr [59]: 8]
Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tantang kaum Anshar,
“Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barang siapa yang dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr [59] : 9)
Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…”
(Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Sebab berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah [9] : 117) Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, red).
Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)
[baca lebih lengkap disni: http://muslim.or.id/manhaj/kedudukan-sahabat-nabi-di-mata-umat-islam-2.html]
3. Kedua Orang tua
Sesungguhnya perintah berbakti kepada orang tua telah Allaah gandengkan dengan perintah mentauhidkanNya.
Allah berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Beribadahlah kepada Allah, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisaa : 36)
Sehingga amatlah jelas, perintah itu mengandung ‘tekanan’ yang demikian kuat.
Ingatlah bahwa merekalah yang bersusah payah dalam menjaga kita sewaktu kita dalam kandungan ibu, (ibu) berjuang melahirkan kita, (ayah) yang memberi nafkah, membesarkan, serta merawat kita, belum lagi merekalah pertama-tama yang medidik kita. Sungguh alangkah besarnya jasa mereka, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدًا إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ
“Seorang anak tidak akan bisa membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai budak, lalu dia merdekakan.”
(Dikeluarkan oleh Muslim)
Jika itu cara membalas budi seorang ayah, lantas bagaimanakah lagi kita membalas kebaikan ibu?!
Dari Abu Burdah mengabarkan bahwasanya Ibnu Umar melihat seorang pria dari Yaman towaf di ka’bah sambil mengangkat ibunya di belakang punggungnya seraya berkata,
“Sesungguhnya aku adalah onta ibuku yang tunduk..jika ia takut untuk menungganginya aku tidak takut (untuk ditunggangi)”
lalu ia berkata, “Wahai Ibnu Umar, apakah menurutmu aku telah membalas jasa ibuku?”,
Ibnu Umar berkata, “Tidak, bahkan engkau tidak bisa membalas jasa karena keluarnya satu tetes cairan dari cairan yang dikeluarkannya tatkala melahirkan”
Perlu ditegaskan kembali, bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul walidain memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna kebaikan tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu sendiripun bukanlah balasan yang setara yang dapat mengimbangi kebaikan orang tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai orang yang bersyukur.
Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.”
Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tidak bentuk kewajiban:
Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat.
Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua.
Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan.
Bila salah satu dari ketiga kriteria itu terabaikan, niscaya seseorang belum layak disebut telah berbakti kepada orang tuanya.
Karena berbakti kepada kedua orang tua lebih merupakan perjanjian, antara sikap kita dengan keyakinan kita. Kita tahu, bahwa menaati perintah orang tua adalah wajib, selama bukan untuk maksiat. Bahkan perintah melakukan yang mubah, bila itu keluar dari mulut orang tua, berubah menjadi wajib hukumnya.
Kita juga tahu, bahwa harta orang tua harus dijaga, tidak boleh dihamburkan secara percuma, atau bahkan untuk berbuat maksiat. Kita juga meyakini, bahwa bila orang tua kita kekurangan atau membutuhkan pertolongan, kitalah orang pertama yang wajib menolong mereka. Namun itu hanya sebatas keyakinan. Bila tidak ada ‘ikatan janji’ dengan sikap kita, semua itu hanya terwujud dalam bentuk wacana saja, tidak bisa terbentuk menjadi ‘bakti’ terhadap orang tua.
Oleh sebab itu, Allah menyebut kewajiban bakti itu sebagai ‘ketetapan’, bukan hanya sekadar ‘perintah’.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Allah telah MENETAPKAN agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Sungguh terdapat KEUTAMAAN yang SANGAT BESAR bagi orang-orang beriman, yang berbakti kepada kedua orang tuanya diakhirat kelak, dan juga terdapat ANCAMAN yang juga SANGAT LUAR BIASA BESAR bagi orang-orang yang mendurhakai keduanya.
Maka semoga kita termasuk orang-orang yang berbakti kepada keduanya, dan tidak termasuk orang-orang yang durhaka kepada keduanya, aamiin.
(baca: http://ustadzkholid.com/akhlaq/berbakti-kepada-orang-tua/)
4. Suami bagi seorang Istri
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Andai boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada yang lain tentu kuperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya”
(HR Tirmidzi no 1159, dinilai oleh al Albani sebagai hadits hasan shahih).
Dalam riwayat lain,
لَا يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا
“Tidak boleh seorang manusia bersujud kepada manusia, dan jikalau boleh seorang manusia bersujud kepada manusia niscaya saya akan memerintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ قُرْحَةً تَنْبَجِسُ بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيدِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحَسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya seorang suami memiliki luka dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengalirkan nanah atau darah kemudian sang istri menciumnya hingga menjilatinya, maka hal itu belum memenuhi seluruh haknya kepadanya.”
(HR. Ahmad, al Mundziriy, ibn Katsiir, al Haytsamiy, al Haytamiy; dikatakan “shahiih lighayrihi” oleh Syaikh al Albaaniy dalam shahiih at targhiib no. 1936)
Syaikh Abul Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri dalam mensyarah hadits diatas berkata;
“Demikian itu dikarenakan banyaknya hak suami yang wajib dipenuhi oleh istri dan tidak mampunya istri untuk berterima kasih kepada suaminya. Dalam hadits ini terdapat ungkapan yang sangat hiperbola menunjukkan wajibnya istri untuk menunaikan hak suaminya karena tidak diperbolehkan bersujud kepada selain Allah”
Bahkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,
“Seorang perempuan jika telah menikah maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua”
(Majmu Fatawa 32/261).
Di halaman yang lain beliau mengatakan,
“Seorang istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin suami, meski diperintahkan oleh bapak atau ibunya apalagi selain keduanya. Hukum ini adalah suatu yang disepakati oleh para imam.
Jika suami ingin berpindah tempat tinggal dari tempat semula dan dia adalah seorang suami yang memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami serta menunaikan hak-hak istrinya lalu orang tua istri melarang anaknya untuk pergi bersama suami padahal suami memerintahkannya untuk turut pindah maka kewajiban istri adalah mentaati suami, bukan mentaati orang tuanya karena orang tua dalam hal ini dalam kondisi zalim. Orang tua tidak boleh melarang anak perempuannya untuk mentaati suami dalam masalah-masalah semacam ini”
(Majmu Fatawa 32/263).
[dikutip dari blog ustadz aris]
5. Guru-guru kita, yang telah mengajarkan ilmu kepada kita (terutama ilmu agama)
Seorang penuntut ilmu wajib menghormati ustadz (guru)nya yang telah mengajarnya, wajib beradab dengan adab yang mulia, juga harus berterima kasih kepada guru yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepadanya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‎لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang besar dari kami dan tidak merahmati orang yang kecil dari kami dan tidak mengetahui hak orang yang alim dari kami.”
(Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir )
Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullaah berkata,
“Seorang penuntut ilmu harus memperbaiki adabnya terhadap gurunya, memuji Allah yang telah memudahkan baginya dengan memberikan kepadanya orang yang mengajarkannya dari kebodohannya, menghidupkannya dari kematian (hati)nya, membangunkannya dari tidurnya, serta mempergunakan setiap kesempatan untuk menimba ilmu darinya.
Hendaklah ia memperbanyak do’a bagi gurunya, baik ketika ada maupun ketika tidak ada.
Karena, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
وَمَنْ أَتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَعْلَمُوا أَنْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
Dan barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah (kebaikannya) dengan kebaikan yang setimpal dan jika kalian tidak mendapat sesuatu untuk membalasnya kebaikannya maka berdo’alah untuknya sampai kalian merasa telah membalas kebaikannya.”
(HR. Ahmad; dikatakan imam al-mundziriy, sanadnya shahiih atau hasan atau yang mendekatinya)
Adakah kebaikan yang lebih agung daripada kebaikan ilmu?! Padahal, setiap kebaikan itu akan terputus kecuali kebaikan ilmu, nasihat dan bimbingan.
(baca: http://almanhaj.or.id/content/2352/slash/0)
Maka semoga artikel ini, dapat bermanfaat bagi penulisnya dan pembacanya, dengan harapan agar kita dapat memahaminya dengan baik, meresap kedalam hati kita, sehingga kita dapat mengamalkannya dalam keseharian kita. aamiin.

Kebaikan Mengamalkan Ilmu Yang Kita Miliki

Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Dan orang-orang yang berjihad/bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
(QS al Ankabut: 69)
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa:
“Barangsiapa yang berusaha mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allah akan menunjukkan mereka apa yang belum mereka ketahui”
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
Dan sesungguhnya kalau mereka MENGAMALKAN pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)
(An-Nisaa: 66)
Maka lihatlah bagaimanakah keutamaan orang-orang yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya.
Darisini kita ambil faidah:
1. Anjuran agar kita semakin BERSEMANGAT dalam MENUNTUT ILMU SYAR’IY sehingga semoga setiap ilmu yang kita dapatkan, kita berusaha untuk dapat kita amalkan.
2. Maka seharusnya ini dapat kita jadikan sebagai TUJUAN UTAMA KITA DALAM MENUNTUT ILMU, yaitu kita mencari ilmu AGAR KITA DAPAT MENGAMALKANNYA; bukan hanya sekedar “koleksi” ilmu saja. namun tercermin dalam AMAL-AMAL KITA, baik amalan hati, lisan maupun anggota badan.
3. Dengan mengamalkan ilmu (dengan ikhlash), maka PASTI Allah akan menunjuki kita akan ilmu-ilmu yang belum kita ketahui.
4. Dengan mengamalkan ilmu (dengan ikhlash) pula, maka akan MEMPERKUAT KEIMANAN dalam hati kita.
5. Dengan mengamalkan ilmu (dengan ikhlash) pula, maka akan membantu kita ISTIQAMAH diatas jalan yang haq.
6. Allah menyebut “MENGAMALKAN ILMU” sebagai salah satu BENTUK JIHAD. maka ini sebagai jawaban kepada kaum TAKFIRIY yang hanya mengkhususkan jihad kepada jihad qital (perang) saja; yang mana sebenarnya Jihad SANGAT LUAS maknanya, tidak sebatas perang saja. baca: Memahami arti jihad
7. Sebagaimana MENGAMALKAN ILMU adalah JIHAD, maka MENUNTUT ILMU pun merupakan JIHAD.
Berkata Abud Darda radhiyallahu ‘anhu:
“Orang-orang yang menganggap pergi dan pulang menuntut ilmu bukan termasuk jihad, berarti akal dan pikiranya telah berkurang.”
(Atsar diriwayatkan ad Darimiy, dalam sunannya)
dan lain-lain..
Semoga bermanfaat

sumber;
http://abuzuhriy.com/

Doa Agar Terlepas dari Musibah


(rabbi a'uudzubika min habazaa tisysyayaa thiini waa'uudzubika rabbi ayyah dzuruun)

Artinya: "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung pula kepada-Mu, ya Tuhan kami dari kedatangan mereka kepadaku." (OS. Al-Mukmin�n: 97-98).

Penjelasan:
Doa di atas dibaca dalam berbagai keadaan agar selamat dari tipu daya syathan, baik dalam beramal maupun dalam pergaulan. Dan doa diatas merupakan perintah Allah agar kita memperbanyak membacanya ketika terjadi musibah. (QS. Al-Mukmin�n ayat 93-94).

Doa Mohon Perlindungan



 Artinya: "Ya Tuhanku, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui hakikatnya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampunan serta tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk golongan orang-orang yang merugi." (QS. H�d: 47).

Penjelasan:
Doa ini merupakan doanya Nabi Nuh a.s., yaitu ketika kaumnya termasuk anaknya (kan'an) ikut dihancurkan oleh Allah Swt. melalui banjir besar. Nabi Nuh a.s. perotes kepada Allah Swt., "kenapa anaknya (kan'an) ikut dihancurkan padahal dia adalah bagian dari keluargaku, dan Engkau sendiri berjanji akan menyelamatkan keluargaku dan menenggelamkan kaumku." (QS. H�d ayat 45).
Kemudian Allah memberikan jawaban: "bahwa dia (Kan'an) bukan termasuk keluargamu yang dijanjikan akan diselamatkan, karena dia tidak shalih dan beriman kepada Allah. Padahal yang akan diselamatkan dari banjir besar adalah mereka-mereka yang beriman kepada Allah.(H�d ayat 46).
Setelah diperingatkan Allah, Nabi Nuh a.s. berdoa dengan lafazh doa diatas. Kemudian Allah mengabulkan doanya. (QS. H�d ayat 48).

Selasa, 27 Desember 2011

Memakai Jilbab Itu Wajib?

Oleh : Dr. Huwayda Ismaeel (Diterjemahkan dari artikel berbahasa Inggris)

ALASAN I : Saya belum benar-benar yakin akan fungsi/kegunaan jilbab
Kami kemudian menanyakan dua pertanyaan kepada saudari ini; Pertama,apakah ia benar-benar percaya dan mengakui kebenaran agama Islam?Dengan alami ia berkata, Ya, sambil kemudian mengucap Laa Ilaa haIllallah! Yang menunjukkan ia taat pada aqidahnya dan Muhammadanrasullullah! Yang menyatakan ia taat pada syariahnya. Dengan begitu iayakin akan Islam beserta seluruh hukumnya. Kedua, kami menanyakan;Bukankah memakai jilbab termasuk hukum dalam Islam? Apabila saudariini jujur dan dan tulus dalam ke-Islamannya, ia akan berkata; Ya, ituadalah sebagian dari hukum Islam yang tertera di Al-Quran suci danmerupakan sunnah Rasulullah SAWW yang suci. Jadi kesimpulannya disini,apabila saudari ini percaya akan Islam dan meyakininya, mengapa iatidak melaksanakan hukum dan perintahnya?

ALASAN II : Saya yakin akan pentingnya jilbab namun Ibu saya melarangnya, dan apabila saya melanggar ibu, saya akan masuk neraka.
Yang telah menjawab hal ini adalah ciptaan Allah Azza wa Jallatermulia, Rasulullah SAWW dalam nasihatnya yang sangat bijaksana;"Tiada kepatuhan kepada suatu ciptaan diatas kepatuhan kepada AllahSWT." (Ahmad) Sesungguhnya, status orangtua dalam Islam, menempatiposisi yang sangat tinggi dan terhormat. Dalam sebuah ayat disebutkan;"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan- Nya dengansesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang Ibu Bapak . . "(QS. An-Nisa:36). Kepatuhan terhadap orangtua tidak terbatas kecualidalam satu aspek, yaitu apabila berkaitan dengan kepatuhan kepadaAllah SWT. Allah berfirman; " dan jika keduanya memaksamu untukmempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmutentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya(QS. Luqman : 15)
Berbuat tidak patuh terhadap orangtua dalam menjalani perintah AllahSWT tidak menyebabkan kita dapat berbuat seenaknya terhadap mereka.Kita tetap harus hormat dan menyayangi mereka sepenuhnya. Allahberfirman di ayat yang sama; "dan pergaulilah keduanya di dunia denganbaik. Kesimpulannya, bagaimana mungkin kamu mematuhi ibumu namunmelanggar Allah SWT yang menciptakan kamu dan ibumu.

ALASAN III : Posisi dan lingkungan saya tidak membolehkan sayamemakai jilbab.
Saudari ini mungkin sati diantara dua tipe: dia tulus dan jujur,atau sebaliknya, ia seorang penipu yang mengatasnamakan lingkunganpekerjaannya untuk tidak memakai jilbab. Kita akan memulai denganmenjawab tipe dia adalah wanita yang tulus dan jujur. "Apakah andatidak tidak menyadari saudariku tersayang, bahwa wanita muslim tidakdiperbolehkan untuk meninggalkan rumah tanpa menutupi auratnya denganhijab dan adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk mengetahuinya? Apabila engkau, saudariku, menghabiskan banyak waktu dan tenagamu untuk melakukan dan mempelajari berbagai macam hal di dunia ini,bagaimana mungkin engkau dapat sedemikian cerobohnya untuk tidak mempelajari hal-hal yang akan menyelamatkanmu dari kemarahan Allah dankematianmu?" Bukankah Allah SWT telah berfirman; "maka bertanyalahkepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui(QS An-Nahl : 43). Belajarlah untuk mengetahui hikmah menutup auratmu.Apabila kau harus keluar rumahmu, tutupilah> auratmu dengan jilbab, carilah kesenangan Allah SWT daripadakesenangan syetan. Karena kejahatan dapat berawal dari pemandangan yang memabukkan dari seorang wanita.

Saudariku tersayang, apabila kau benar-benar jujur dan tulus dalammenjalani sesuatu dan berusaha, kau akan menemukan ribuan tangankebaikan siap membantumu, dan Allah SWT akan membuat segalapermasalahan mudah untukmu. Bukankah Allah SWT telah berfirman;"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakanbaginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiadadisangka-sangkanya. ."(QS. AtTalaq :2-3). Kedudukan dan kehormatanadalah sesuatu yang ditentukan oleh Allah SWT. Dan tidak bergantungpada kemewahan pakaian yang kita kenakan, warna yang mencolok, dan mengikuti trend yang sedang berlaku. Kehormatan dankedudukan lebih kepada bersikap patuh pada Allah SWT dan Rasul-NyaSAWW, dan bergantung pada hukum Allah SWT yang murni. Dengarkanlahkalimat Allah; sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.."(QS.Al-Hujurat:13) .Kesimpulannya, lakukanlah sesuatu dengan mencari kesenangan dan keridhoan Allah SWT, dan berikan harga yang sediki tpada benda-benda mahal yang dapat menjerumuskanmu.

ALASAN IV : Udara di daerah saya amatlah panas dan saya tidak dapat menahannya. Bagaimana mungkin saya dapat mengatasinya apalagi jika saya memakai jilbab.
Allah SWT memberikan perumpamaan dengan mengatakan; "api neraka jahannam itu lebih lebih sangat panas(nya) jikalau merekamengetahui.. "(QS At-Taubah : 81)Bagaimana mungkin kamu dapatmembandingkan panas di daerahmu dengan panas di neraka jahannam? Sesungguhnya saudariku, syetan telah mencoba membuat talli besar untukmenarikmud ari panasnya bumi ini kedalam panasnya suasana neraka.Bebaskan dirimu dari jeratannya dan cobalah untuk melihat panasnyamatahari sebagai anugerah, bukan kesengsaraan. Apalagi mengingat bahwaintensitas hukuman dari Allah SWT akan jauh lebih berat dari apa yangkau rasakan sekarang di dunia fana ini. Kembalilah pada hukum AllahSWT dan berlindunglah dari hukuman-Nya, sebagaimana tercantum dalamayat; "mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pulamendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah"(QS. AN-NABA78:24-25). Kesimpulannya, surga yang Allah SWT janjikan, penuh dengancobaan dan ujian. Sementara jalan menuju neraka penuh> dengan kesenangan, nafsu dan kenikmatan.

ALASAN V : Saya takut, bila saya memakai jilbab sekarang, di lainhari saya akan melepasnya kembali, karena saya melihat banyak sekaliorang yang begitu.
Kepada saudari itu saya berkata, "apabila semua orangmengaplikasikan logika anda tersebut, mereka akan meninggalkan seluruhkewajibannya pada akhirnya nanti! Mereka akan meninggalkan shalat limawaktu karena mereka takut tidak dapat melaksanakan satu saja waktushalat itu. Mereka akan meninggalkan puasa di bulan ramadhan, karenamereka tekut tidak dapat menunaikan satu hari ramadhan saja di bulanpuasa, dan seterusnya. Tidakkah kamu melihat bagaimana syetan telahmenjebakmu lagi dan memblokade petunju bagimu? Allah SWT menyukaiketaatan yang berkesinambungan walaupun hanya suatu ketaatan yangsangat kecil atau dianjurkan. Lalu bagaimana dengan sesuatu yangbenar-benar diwajibkan sebagaimana kewajiban memakai jilbab? Rasulullah SAW bersabda; "Perbuatan yang paling dicintai Allah adalahperbuatan mulia yang terus menerus, yang mungkin orang lain anggapkecil." Mengapa kamu saudariku, tidak melihat alasan mereka yangdibuat-buat untuk menanggalkan kembali jilbab mereka dan> menjauhi mereka? Mengapa tidak kau buka tabir kebenaran danberpegang teguh padanya? Allah SWT sesungguhnya telah berfirman; "makakami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu,dan bagi mereka yang datang di masa kemudian, serta menjadi pelajaranbagi orang-orang yang bertakwa"(QS. AL BAQARAH 2:66) Kesimpulannya,apabila kau memgang teguh petunjuk dan merasakan manisnya keimanan,kau tidak akan meninggalkan sekali pun perintah Allah SWT setelah kaumelaksanakannya.

ALASAN VI : Apabila saya memakai jilbab, maka jodohku akan sulit,jadi aku akan memakainya nanti setelah menikah.
Saudariku, suami mana pun yang lebih menyukaimu tidak memakai jilbabdan membiarkan auratmu di depan umum, berarti dia tidak mengindahkanhukum dan perintah Allah SWT dan bukanlah suami yang berharga sejaksemula. Dia adalah suami yang tidak memiliki perasaan untuk melindungidan menjaga perintah Allah SWT, dan jangan pernah berharap tipe suamiseperti ini akan menolongmu menjauhi api neraka, apalagi memasukisurga Allah SWT. Sebuah rumah yang dipenuhi dengan ketidak-taatankepada Allah SWT, akan selalu menghadapi kepedihan dan kemalangan didunia kini dan bahkan di akhirat nanti. Allah SWT bersabda; "danbarangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginyapenghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada harikiamat dalam keadaan buta"(QS. TAHA 20:124) Pernikahan adalah sebuahpertolongan dan keberkahan dari Allah SWT kepada siapa saja yang Iakehendaki. Berapa banyak wanita yang ternyata menikah sementara merekayang tidak memakai jilbab tidak?

Apabila kau, saudariku tersayang, mengatakan bahwaketidak-tertutupanm u kini adalah suatu jalan menuju sesuatu yangmurni, asli, yaitu pernikahan. Tidak ada ketertutupan. Saudariku,suatu tujuan yang murni, tidak akan tercapai melalui jalan yang tidakmurni dan kotor dalam Islam. Apabila tujuannya bersih dan murni, sertaterhormat, maka jalan menuju kesana pastilah harus dicapai denganbersih dan murni pula. Dalam syariat Islam kita menyebutnya : Alatatau jalan untuk mencapai sesuatu, tergantung dari peraturan yang adauntuk mencapai tujuan> tersebut. Kesimpulannya, tidak ada keberkahan dari suatu perkawinanyang didasari oleh dosa dan kebodohan.

ALASAN VII : Saya tidak memakai jilbab berdasarkan perkataan AllahSWT : "dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamumenyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)"( QS.Ad-Dhuhaa 93: 11). Bagaimana mungkin saya menutupi anugerah Allah berupa kulit mulus dan rambutku yang indah?
Jadi saudari kita ini mengacu pada Kitab Allah selama itu mendukungkepentingannya dan pemahamannya sendiri ! ia meninggalkan tafsirsesungguhnya dibelakang ayat itu apabila hal itu tidakmenyenangkannya. Apabila yang saya katakan ini salah, mengapa saudarikita ini tidak mengikuti ayat : "janganlah mereka menampakkanperhiasannya kecuali yang nampak daripadanya" (QS An-Nur 24: 31] dansabda Allah SWT: "katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakperempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkanjilbabnya.." (QS Al-Ahzab 33:59). Dengan pernyataan darimu itu,saudariku, engkau telah membuat syariah sendiri bagi dirimu, yangsesungguhnya telah dilarang oleh Allah SWT, yang disebut at-tabarrujdan as-sufoor. Berkah terbesar dari Allah SWT bagi kita adalah imandan hidayah, yang diantaranya adalah menggunakan hijab. Mengapa kamutidak mempelajari dan menelaah anugerah terbesar bagimu ini?Kesimpulannya, apakah ada anugerah dan pertolongan terhadap wanita yang> lebih besar daripada petunjuk dan hijab?

ALASAN VIII : Saya tahu bahwa jilbab adalah kewajiban, tapi sayaakan memakainya bila saya sudah merasa terpanggil dan diberi petunjukoleh-Nya.

Saya bertanya kepada saudariku ini, rencana atau langkah apa yang ialakukan selama menunggu hidayah, petunjuk dari Allah SWT seperti yangdia katakan? Kita mengetahui bahwa Allah SWT dalam kalimat-kalimatbijak-Nya menciptakan sebab atau cara untuk segala sesuatu. Itulahmengapa orang yang sakit menelan sebutir obat untuk menjadi sehat, dansebagainya. Apakah saudariku ini telah dengan seluruh keseriusan danusahanya mencari petunjuk sesungguhnya dengan segala ketulusannya,berdoa, sebagaimana dalam surah Al-Fatihah 1:6 "Tunjukilah kami jalanyang lurus" serta berkumpul mencari pengetahuan kepadamuslimah-muslimah lain yang lebih taat dan yang menurutnya telahdiberi petunjuk dengan menggunakan jilbab? Kesimpulannya, apabilasaudariku ini benar-benar serius dalam mencari atau pun menunggupetunjuk dari Allah SWT, dia pastilah akan melakukan jalan-jalanmenuju pencariannya itu.

ALASAN IX : Belum waktunya bagi saya. Saya masih terlalu muda untukmemakainya. Saya pasti akan memakainya nanti seiring dengan penambahanumur dan setelah saya pergi haji.
Malaikat kematian, saudariku, mengunjungi dan menunggu di pintumukapan saja Allah SWT berkehendak. Sayangnya, saudariku, kematian tidakmendiskriminasi antara tua dan muda dan ia mungkin saja datang disaatkau masih dalam keadaan penuh dosa dan ketidaksiapan Allah SWTbersabda; "tiap umat mepunyai batas waktu; maka apabila telah datangwaktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dantidak dapat (pula) memajukannya" (QS Al-An'aam 7:34] saudarikutersayang, kau harus berlomba-lomba dalam kepatuhan pada Allah SWT;"berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dansurga yang luasnya seluas langit dan bumu.."(QS Al-Hadid 57:21)saudariku, jangan melupakan Allah SWT atau Ia akan melupakanmu didunia ini dan selanjutnya. Kau melupakan jiwamu sendiri dengan tidakmemenuhi hak jiwamu untuk mematuhi-Nya. Allah mengatakan tentangorang-orang yang munafik, "dan janganlah kamu seperti orang-orang yanglupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka> lupa kepada diri mereka sendiri" (QS Al-Hashr 59: 19) saudariku,memakai jilbab di usiamu yang muda, akan memudahkanmu. Karena AllahSWT akan menanyakanmu akan waktu yang kau habiskan semasa mudamu, dansetiap waktu dalam hidupmu di hari pembalasan nanti.Kesimpulannya ,berhentilah menetapkan kegiatanmu dimasa datang, karena tidak seorangpun yang dapat menjamin kehidupannya hingga esok hari.
ALASAN X : Saya takut, bila saya memakai jilbab, saya akan di-capdan digolongkan dalam kelompok tertentu! Saya benci pengelompokan!
Saudariku, hanya ada dua kelompok dalam Islam. Dan keduanyadisebutkan dalam Kitabullah. Kelompok pertama adalah kelompok /tentara Allah (Hizbullah) yang diberikan pada mereka kemenangan,karena kepatuhan mereka. Dan kelompok kedua adalah kelompok syetanyang terkutuk (hizbush-shaitan) yang selalu melanggar Allah SWT.Apabila kau, saudariku, memegang teguh perintah Allah SWT, danternyata disekelilingmu adalah saudara-saudaramu yang memakai jilbab,kau tetapi akan dimasukkan dalam kelompok Allah SWT. Namun apabila kaumemperindah nafsu dan egomu, kau akan mengendarai kendaraan Syetan,seburuk-buruknya teman.
KESIMPULAN
Tubuhmu, dipertontonkan di pasar para syetan dan merayu hati para pria, Model rambut, pakaian ketat yang mempertontonkan setiap detailtubuhmu, pakaian-pakaian pendek yang menunjukkan keindahan kakimu, dansemua yang dapat membangkitkan amarah Allah SWT dan menyenangkan syetan. Setiap waktumu yang kau habiskan dalam kondisi ini, akan terussemakin menjauhkanmu dari Allah SWT dan semakin membawamu lebih dekatpada syetan. Setiap waktu kutukan dan kemarahan menuju kepadamu dari surga hingga kau bertaubat. Setiap hari membawamu semakin dekat kepadakematian. "tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dansesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, makasungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain darikesenangan yang memperdayakan" (QS Ali `Imran 3:185).Naikilah kereta untuk mengejar ketinggalan, saudariku, sebelum kereta itu melewati stasiunmu. Renungkan secara mendalam, saudariku,apa yang terjadi hari ini sebelum esok datang. Pikirkan tentang hal ini, saudariku, sekarang, sebelum semuanya terlambat !

artikel bersumber dari:
Galeri Dita

Mengemis Yang Haram Dan Yang Diperbolehkan dalam Islam

Setiap manusia tentu membutuhkan rizki berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Untuk itu, manusia harus mencari nafkah dengan berbagai usaha yang halal. Bagi seorang muslim, mencari rizki secara halal merupakan salah satu prinsip hidup yang sangat mendasar. Kita tentu menghendaki dalam upaya mencari rizki, banyak yang bisa kita peroleh, mudah mendapatkannya dan halal status hukumnya.
Namun seandainya sedikit yang kita dapat dan susah pula mendapatkannya selama status hukumnya halal jauh lebih baik daripada mudah mendapatkannya, banyak perolehannya namun status hukumnya tidak halal. Yang lebih tragis lagi adalah bila seseorang mencari nafkah dengan susah payah, sedikit mendapatkannya, status hukumnya juga tidak halal, bahkan resikonya sangat berat, inilah sekarang yang banyak terjadi. Kita dapati di masyarakat kita ada orang yang mencuri sandal atau sepatu di masjid, mencopet di bus kota dan sebagainya. Korban penganiayaan dari masyarakat sudah banyak yang berjatuhan akibat pencurian semacam itu.
Dalam satu hadits, Rasulullah saw menyebutkan tentang kecintaan Allah swt kepada orang yang mencari rizki secara halal meskipun ia bersusah payah dalam mendapatkannya, beliau bersabda:
ِإنَّ للهَ تَعَالىَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى تَعِبًا فىِ طَلَبِ الْحَلاَلِ
Sesungguhnya Allah cinta (senang) melihat hamba-Nya lelah dalam mencari yang halal (HR. Ad Dailami).
Salah satu cara mencari harta yang tidak terhormat adalah dengan meminta atau mengemis kepada orang lain. Karena itu, sebagai muslim jangan sampai meminta atau mengemis agar kita mendapat jaminan surga dari Rasulullah saw sebagaimana sabdanya:
مَنْ يَتَكَفَّلُ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وأَتَكَفَّلُ لََهُ بالْجَنَّةِ
Barangsiapa yang menjamin kepadaku bahwa ia tidak meminta sesuatu kepada orang, aku menjamin untuknya dengan surga (HR. Abu Daud dan Hakim).
Mengemis Yang Dibolehkan
Pada dasarnya, mengemis termasuk cara mencari harta yang diharamkan oleh Allah swt, karena itu, mengemis tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim kecuali bila sangat terpaksa, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ مُخَارِقِ الْهِلاَلِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: تَحَمَّلَتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيْهَا, فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ, فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا. قَالَ: ثُمَّ قَالَ: يَا قَبِيْصَةُ, إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدٍ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ احْتَاجَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ, أوْ قَالَ: سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ. وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لقدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاَقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ, أوْ قَالَ: سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ. فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ, سُحْتًا يًأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
Qabishah bin Mukhariq al Hilal ra berkata: “aku pernah memikul tanggungan berat (diluar kemampuan), lalu aku datang kepada Rasulullah saw untuk mengadukan hal itu. Kemudian beliau bersabda: “Tunggulah sampai ada sedekah yang datang kepada kami lalu kami perintahkan agar sedekah itu diberikan kepadamu”. Setelah itu beliau bersabda: Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh kecuali bagi salah satu dari tiga golongan, yaitu (1) orang yang memikul beban tanggungan yang berat (diluar kemampuannya), maka dia boleh meminta-minta sehingga setelah cukup lalu berhenti, tidak meminta-minta lagi. (2) Orang yang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekadar kebutuhan hidupnya. (3). Orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang yang sehat pikirannya dari kaumnya menganggapnya benar-benar miskin, makia dia boleh meminta sampai dia memperoleh sekadar kebutuhan hidupnya. Sedangkan selain dari tiga golongan tersebut hai Qabishah, maka meminta-minta itu haram yang hasilnya bila dimakan juga juga haram (HR. Muslim).

Dari hadits di atas, dapat kita pahami bahwa mengemis yang dibolehkan adalah mengemis yang sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan seseorang, itupun tidak boleh menjadi pekerjaan atau profesi, karena situasi daurat seharusnya tidak berlangsung lama. Lebih jelas, ada tiga sebab atau keadaan dibolehkannya mengemis bagi seseorang. Pertama, orang yang memiliki beban hidup yang tidak mampu ditanggungnya sehingga dengan kesungguhan dan kerja keras ia dapat berusaha dengan cara lain yang halal untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
Dalam kehidupan sekarang, para pengemis bisa jadi berada dalam keadaan memiliki tanggungan yang berat, namun karena dari mengemis ternyata banyak yang diperolehnya meskipun tanpa keras keras, maka ia malah keasyikan sehingga tidak mau berusaha yang lain. Padahal seandainya seorang ibu yang kita lihat di jalan-jalan untuk mengemis mau jadi pembantu rumah tangga saja; makan, minum dan tempat tinggal sudah terjamin, itupun masih mendapatkan upah setiap bulan. Kalau para preman yang suka memalak mau berusaha dengan cara berdagang minuman ringan dan makanan kecil saja, maka ia sudah bisa memperoleh uang, kalau orang cacat diberikan pendidikan ketrampilan yang membuatnya bisa berusaha dan berkarya, tentu ia tidak akan menunggu belaskasihan orang lain.
Oleh karena itu, setiap orang seharusnya bisa memahami dan menyadari bahwa semakin lama beban hidup memang semakin besar sehingga seseorang dituntut untuk meningkatkan semangat bekerja dan berusaha, termasuk di dalamnya dengan memperbanyak ketrampilan karena semakin banyak ketrampilan yang dikuasainya, semakin banyak pula pintu rizki yang bisa dibuka.
Kedua yang dibolehkan mengemis adalah orang yang tertimpa musibah seperti bencana alam yang menghabiskan hartanya, bahkan untuk sementara iapun tidak bisa berusaha sebagaimana biasanya. Di negeri kita, bencana datang silih berganti bahkan ada bencana yang sudah bisa diperkirakan seperti banjir, tanah longsor, berbagai penyakit yang muncul akibat perubahan musim dan sebagainya. Kalau pemerintah tanggap dalam masalah ini, apalagi dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat, mestinya orang yang tertimpa musibah tidak akan sampai mengemis, anggaran negara dan pemerintah daerah harus disediakan dalam jumlah yang banyak untuk menghadapi situasi darurat akibat bencana alam.
Ketiga, Kemiskinan yang diakui oleh masyarakat di sekitarnya bahwa dia memang miskin sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok saja seperti makan dan minum ia tidak sanggup lagi memenuhinya. Bila tidak ada pilihan lain, maka orang yang ditimpa kemiskinan dibolehkan mengemis sekadar untuk bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Namun, kemiskinan idealnya tidak sampai membuat seseorang menjadi pengemis, tapi orang yang berkemampuan apalagi pemerintah harus segera membantu masyarakat yang miskin dengan mendidik masyarakat dan membuka lapangan kerja yang luas.
Disamping itu, ketika seseorang mau berusaha lalu membutuhkan modal, maka permodalan bisa diberikan atau dipinjamkan dari dana zakat, infak dan sedekah atau memang dana yang disediakan oleh pemerintah sehingga seseorang bisa berusaha dengan cara yang baik dan tidak lagi menjadi pengemis.
Dengan demikian dalam situasi terpaksa, seseorang dibolehkan mengemis hanya untuk mendapatkan rizki sekadar bisa memenuhi kebutuhan pokok, bukan dengan mengemis itu ia menjadi kaya apalagi sampai menipu orang lain agar ada belas kasihan kepadanya. Orang yang selama ini menjadi pengemis harus meninggalkan cara mengemis dan secara serius pemerintah harus memberi perhatian dalam masalah ini.
Oleh karena itu, motivasi dan memberi pemahaman yang utuh untuk membantu yang lemah harus dibangun kembali, sedangkan mereka yang mengalami kesulitan hidup harus mau berusaha semaksimal mungkin dan tidak menjadikan keadaan dirinya sebagai alasan keterpaksanaan untuk mendapatkan rizki dengan cara yang tidak terhormat.
Drs. H. Ahmad Yani

artikel bersumber dari :
eramuslim

Tips Mencari Jodoh Secara Islami

Cari Jodoh memang agak Gampang2 Susah tapi tidak ada salahnya kita menyimak  Tips 2 Mencari Jodoh secara Islami dibawah ini




1. Jika kita ingin mendapatkan jodoh maka kita harus berkosentrasi bukan kepada mana yang harus dipilih tapi kosentrasi dengan melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik.
2. Jangan pernah mengharapkan seseorang untuk jadi seperti yang kita harapkan tapi lebih melihat bagaimana kita menempatkan diri kita terhadap orang lain.
3. Jika belum memiliki pasangan hidup kita tetap harus memposisikan untuk siap dan berani menanggung segala resikonya dalam membina rumah tangga.
4. Jangan jadikan traumatik masa lalu sebagai patokan sehingga tidak memberikan solusi ke arah yang lebih baik.
5. Carilah soulmate sebanyak-banyaknya agar silaturrahim nya baik.
6. Jangan pernah menilai, memberi label, dan kesimpulan kepada seseorang karena jodoh atas ridho ALLAH semata,manusia hanya wajib berikhtiar tapi ALLAH SWT yang menentukan segalanya.
7. Tidak perlu mengkhawatirkan usia, di usia berapapun menikah baik jika kita mau mempertanggung jawabkan pernikahan kita terhadap ALLAH SWT dan pasangan.
8. Teruslah berdoa karena doa merupakan proposal kita terhadap ALLAH SWT, jangan pernah berprasangka buruk terhadap ALLAH SWT….
Bagaimana konsep jodoh?
1. Konsep jodoh adalah soulmate atau belahan jiwa.
2. Banyak orang sering melupakan konsep jodoh yaitu melakukan perubahan dan saat menerima perubahan.
3. Pada saat mencari jodoh sering melihat secara fisik saja, sehingga tidak mendorong seseorang mencari pasangan hidup sesuai dengan apa yang diidamkan.
4. Orang menikah sebaiknya terkonsep bukan sekedar mencari keturunan semata tapi lebih untuk meningkatkan amal ibadah.
Ketika ALLAH SWT menentukan jodoh manusia, apakah si A harus berjodoh dengan si B / apakah kita sendiri yang menentukan pilihannya?
1. Perkawinan terjadi bila ada komitmen antara Yang Di Atas, dirinya dan pasangannya.
2. Kalo soulmate belum terjadi komitmen besar.
3. Persoalannya adalah seringkali orang tidak melihat apakah soulmate ini merupakan kehendak ALLAH SWT atau kehendak sendiri.
4. Persoalannya lebih sejauh kepada sejauh mana ikhtiar / berdoa kita dalam berbagi dengan soulmate.
5. Jadi penilaiannya adalah jangan ambil keputusan bila belum mendapat ridho ALLAH SWT.
Apa yang menjadi penyebab wanita terlambat memperoleh jodoh?
1. Bisa traumatik masa lalu sehingga takut melangkah ke masa depan.
2. Wanita cerdas dan pintar mampu mengambil keputusan untuk menikah bukan karena umur tetapi lebih mewaspadai apa yang harus dilakukan dalam satu komitmen diri.
3. Kadang – kadang kemungkinan orang ragu pilihan sendiri bila ada yang lebih baik / ganteng / lebih superior dari dia nya sendiri.
Bagaimana bila jodoh tak kunjung datang?
1. Kita ambil hak prerogatif ALLAH SWT dari keputusan apa pun.
2. Gagal mungkin jalan yang terbaik untuk diri kita sendiri.
3. Banyak orang yang berandai – andai daripada ketimbang memberi keputusan matang terlebih dahulu.
4. Seharusnya tetap optimis dan tidak putus asa.
SEMOGA BERMANFA’AT,
Wassalam

artikel ini bersumber dari:
Media Salafi.com

Penyebab Wanita Mayoritas Penghuni Neraka

Saudariku Muslimah
Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.
Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.
Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti
Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)
Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”
Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam
surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)
Begitu pula dengan ayat-ayat lainnya yang juga menjelaskan keadaan neraka dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.
Kedahsyatan dan kengerian neraka juga dinyatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya beliau bersabda : “Api kalian yang dinyalakan oleh anak cucu Adam ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian neraka Jahanam.” (Shahihul Jami’ 6618)
Jikalau api dunia saja dapat menghanguskan tubuh kita, bagaimana dengan api neraka yang panasnya 69 kali lipat dibanding panas api dunia? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.
Wanita Penghuni Neraka
Tentang hal ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)
Hadits ini menjelaskan kepada kita apa yang disaksikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang penduduk Surga yang mayoritasnya adalah fuqara (para fakir miskin) dan neraka yang mayoritas penduduknya adalah wanita. Tetapi hadits ini tidak menjelaskan sebab-sebab yang mengantarkan mereka ke dalam neraka dan menjadi mayoritas penduduknya, namun disebutkan dalam hadits lainnya.
Di dalam kisah gerhana matahari yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana padanya dengan shalat yang panjang , beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat Surga dan neraka.
Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya radliyallahu ‘anhum :“ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya : “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab : “Karena kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penduduk neraka, beliau bersabda :“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Dari Imran bin Husain dia berkata, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah wanita.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Imam Qurthubi rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan pernyataannya : “Penyebab sedikitnya kaum wanita yang masuk Surga adalah hawa nafsu yang mendominasi pada diri mereka, kecondongan mereka kepada kesenangan-kesenangan dunia, dan berpaling dari akhirat karena kurangnya akal mereka dan mudahnya mereka untuk tertipu dengan kesenangan-kesenangan dunia yang menyebabkan mereka lemah untuk beramal.
Kemudian mereka juga sebab yang paling kuat untuk memalingkan kaum pria dari akhirat dikarenakan adanya hawa nafsu dalam diri mereka, kebanyakan dari mereka memalingkan diri-diri mereka dan selain mereka dari akhirat, cepat tertipu jika diajak kepada penyelewengan terhadap agama dan sulit menerima jika diajak kepada akhirat.” (Jahannam Ahwaluha wa Ahluha halaman 29-30 dan At Tadzkirah halaman 369)
Saudariku Muslimah … .
Jika kita melihat keterangan dan hadits di atas dengan seksama, niscaya kita akan dapati beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam neraka bahkan menjadi mayoritas penduduknya dan yang menyebabkan mereka menjadi golongan minoritas dari penghuni Surga.
Saudariku Muslimah … . Hindarilah sebab-sebab ini semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.
1. Kufur Terhadap Suami dan Kebaikan-Kebaikannya
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan hal ini pada sabda beliau di atas tadi. Kekufuran model ini terlalu banyak kita dapati di tengah keluarga kaum Muslimin, yakni seorang istri yagn mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya dengan sikap suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri sebagaimana kata pepatah, panas setahun dihapus oleh hujan sehari.
Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri ialah bersyukur terhadap apa yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufuri kebaikan-kebaikan sang suami karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat istri model begini sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 76)
Hadits di atas adalah peringatan keras bagi para wanita Mukminah yang menginginkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Surga-Nya. Maka tidak sepantasnya bagi wanita yang mengharapkan akhirat untuk mengkufuri kebaikan-kebaikan suaminya dan nikmat-nikmat yang diberikannya atau meminta dan banyak mengadukan hal-hal sepele yang tidak pantas untuk dibesar-besarkan.
Jika demikian keadaannya maka sungguh sangat cocok sekali jika wanita yang kufur terhadap suaminya serta kebaikan-kebaikannya dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai mayoritas kaum yang masuk ke dalam neraka walaupun mereka tidak kekal di dalamnya.
Cukup kiranya istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabiyah sebagai suri tauladan bagi istri-istri kaum Mukminin dalam mensyukuri kebaikan-kebaikan yang diberikan suaminya kepadanya.
2. Durhaka Terhadap Suami
Kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya pada umumnya berupa tiga bentuk kedurhakaan yang sering kita jumpai pada kehidupan masyarakat kaum Muslimin. Tiga bentuk kedurhakaan itu adalah :
1. Durhaka dengan ucapan.
2. Durhaka dengan perbuatan.
3. Durhaka dengan ucapan dan perbuatan.
Bentuk pertama ialah seorang istri yang biasanya berucap dan bersikap baik kepada suaminya serta segera memenuhi panggilannya, tiba-tiba berubah sikap dengan berbicara kasar dan tidak segera memenuhi panggilan suaminya. Atau ia memenuhinya tetapi dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak senang atau lambat mendatangi suaminya. Kedurhakaan seperti ini sering dilakukan seorang istri ketika ia lupa atau memang sengaja melupakan ancaman-ancaman Allah terhadap sikap ini.
Termasuk bentuk kedurhakaan ini ialah apabila seorang istri membicarakan perbuatan suami yang tidak ia sukai kepada teman-teman atau keluarganya tanpa sebab yang diperbolehkan syar’i. Atau ia menuduh suaminya dengan tuduhan-tuduhan dengan maksud untuk menjelekkannya dan merusak kehormatannya sehingga nama suaminya jelek di mata orang lain. Bentuk serupa adalah apabila seorang istri meminta di thalaq atau di khulu’ (dicerai) tanpa sebab syar’i. Atau ia mengaku-aku telah dianiaya atau didhalimi suaminya atau yang semisal dengan itu.
Permintaan cerai biasanya diawali dengan pertengkaran antara suami dan istri karena ketidakpuasan sang istri terhadap kebaikan dan usaha sang suami. Atau yang lebih menyedihkan lagi bila hal itu dilakukannya karena suaminya berusaha mengamalkan syari’at-syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah-sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh jelek apa yang dilakukan istri seperti ini terhadap suaminya. Ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :“Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’i, pent.) maka haram baginya wangi Surga.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi serta selain keduanya. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 85)
Bentuk kedurhakaan kedua yang dilakukan para istri terjadi dalam hal perbuatan yaitu ketika seorang istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suaminya atau bermuka masam ketika melayaninya atau menghindari suami ketika hendak disentuh dan dicium atau menutup pintu ketika suami hendak mendatanginya dan yang semisal dengan itu.
Termasuk dari bentuk ini ialah apabila seorang istri keluar rumah tanpa izin suaminya walaupun hanya untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Yang demikian seakan-akan seorang istri lari dari rumah suaminya tanpa sebab syar’i. Demikian pula jika sang istri enggan untuk bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya dan yang semisal dengan itu.
Bentuk lain adalah apabila seorang istri tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal itu, melakukan puasa sunnah tanpa izin suaminya, meninggalkan hak-hak Allah seperti shalat, mandi janabat, atau puasa Ramadlan.
Maka setiap istri yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti tersebut adalah istri yang durhaka terhadap suami dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika kedua bentuk kedurhakaan ini dilakukan sekaligus oleh seorang istri maka ia dikatakan sebagai istri yang durhaka dengan ucapan dan perbuatannya. (Dinukil dari kitab An Nusyuz karya Dr. Shaleh bin Ghanim As Sadlan halaman 23-25 dengan beberapa tambahan)
Sungguh merugi wanita yang melakukan kedurhakaan ini. Mereka lebih memilih jalan ke neraka daripada jalan ke Surga karena memang biasanya wanita yang melakukan kedurhakaan-kedurhakaan ini tergoda oleh angan-angan dan kesenangan dunia yang menipu.
Ketahuilah wahai saudariku Muslimah, jalan menuju Surga tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga nan indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan-rintangan yang berat untuk dilalui oleh manusia kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah. Tetapi ingatlah di ujung jalan ini ada Surga yang Allah sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang sabar menempuhnya.
Ketahuilah pula bahwa jalan menuju neraka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap manusia tertarik untuk menjalaninya. Tetapi ingat dan sadarlah bahwa neraka menanti orang-orang yang menjalani jalan ini dan tidak mau berpaling darinya semasa ia hidup di dunia.
Hanya wanita yang bijaksanalah yang mau bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada suaminya dari kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah ia lakukan. Ia akan kembali berusaha mencintai suaminya dan sabar dalam mentaati perintahnya. Ia mengerti nasib di akhirat dan bukan kesengsaraan di dunia yang ia takuti dan tangisi.
3. Tabarruj
Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki. (Jilbab Al Mar’atil Muslimah halaman 120)
Hal ini kita dapati pada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang dikarenakan minimnya pakaian mereka dan tipisnya bahan kain yang dipakainya. Yang demikian ini sesuai dengan komentar Ibnul ‘Abdil Barr rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut.
Ibnul ‘Abdil Barr menyatakan : “Wanita-wanita yang dimaksudkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah yang memakai pakaian yang tipis yang membentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada dhahirnya dan telanjang pada hakikatnya … .” (Dinukil oleh Suyuthi di dalam Tanwirul Hawalik 3/103 )
Mereka adalah wanita-wanita yang hobi menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hal ini dalam firman-Nya : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (An Nur : 31)
Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyatakan di dalam kitab Al Kabair halaman 131 : “Termasuk dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka dilaknat ialah menampakkan hiasan emas dan permata yang ada di dalam niqab (tutup muka/kerudung) mereka, memakai minyak wangi dengan misik dan yang semisalnya jika mereka keluar rumah … .”
Dengan perbuatan seperti ini berarti mereka secara tidak langsung menyeret kaum pria ke dalam neraka, karena pada diri kaum wanita terdapat daya tarik syahwat yang sangat kuat yang dapat menggoyahkan keimanan yang kokoh sekalipun. Terlebih bagi iman yang lemah yang tidak dibentengi dengan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan di dalam hadits yang shahih bahwa fitnah yang paling besar yang paling ditakutkan atas kaum pria adalah fitnahnya wanita.
Sejarah sudah berbicara bahwa betapa banyak tokoh-tokoh legendaris dunia yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hancur karirnya hanya disebabkan bujuk rayu wanita.
Dan berapa banyak persaudaraan di antara kaum Mukminin terputus hanya dikarenakan wanita. Berapa banyak seorang anak tega dan menelantarkan ibunya demi mencari cinta seorang wanita, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dapat membuktikan bahwa wanita model mereka ini memang pantas untuk tidak mendapatkan wanginya Surga.
Hanya dengan ucapan dan rayuan seorang wanita mampu menjerumuskan kaum pria ke dalam lembah dosa dan hina terlebih lagi jika mereka bersolek dan menampakkan di hadapan kaum pria. Tidak mengherankan lagi jika di sana-sini terjadi pelecehan terhadap kaum wanita, karena yang demikian adalah hasil perbuatan mereka sendiri.
Wahai saudariku Muslimah … . Hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang Islamy yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan adzab di akhirat kelak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (Al Ahzab : 33)
Masih banyak sebab-sebab lainnya yang mengantarkan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka. Tetapi kami hanya mencukupkan tiga sebab ini saja karena memang tiga model inilah yang sering kita dapati di dalam kehidupan masyarakat negeri kita ini.
Saudariku Muslimah … .
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah menuntunkan satu amalan yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari adzab neraka. Ketika beliau selesai khutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjuran untuk mentaati-Nya. Beliau pun bangkit mendatangi kaum wanita, beliau menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian beliau bersabda : “Bershadaqahlah kalian! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya Jahanam!” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, iapun bertanya : “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami!” (HR. Bukhari)
Bershadaqahlah! Karena shadaqah adalah satu jalan untuk menyelamatkan kalian dari adzab neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari adzabnya. Amin.
Wallahu A’lam bish Shawwab.

artikel ini bersumber dari:
Media Salafi.com

Bolehkah Berpacaran Menurut Islam?

Janganlah kamu sekalian mendekati perzinahan, karena zina itu adalah perbuatan yang keji…” (QS. Al-Isra : 32).
Istilah pacaran yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang ini tidak ada dalam Islam. Yang ada dalam Islam ada yang disebut “Khitbah” atau masa tunangan. Masa tunangan ini adalah masa perkenalan, sehingga kalau misalnya setelah khitbah putus, tidak akan mempunyai dampak seperti kalau putus setelah nikah. Dalam masa pertunangan keduanya boleh bertemu dan berbincang-bincang di tempat yang aman, maksudnya ada orang ketiga meskipun tidak terlalu dekat duduknya dengan mereka.
Kalau dilihat dari hukum Islam, pacaran yang dilakukan oleh anak-anak sekarang adalah haram. Mengapa haram?
Karena pacaran itu akan membawa kepada perzinahan dimana zina adalah termasuk dosa besar, dan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu ayatnya berbunyi sebagaimana yang dikutip di awal tulisan ini. Ayat tersebut tidak mengatakan jangan berzina, tetapi jangan mendekati zina, mengapa demikian ? Karena biasanya orang yang berzina itu tidak langsung, tetapi melalui tahapan-tahapan seperti : saling memandang, berkenalan, bercumbu kemudian baru berbuat zina yang terkutuk itu.
PENCEGAHAN
Dalam hukum Islam umumnya, manakala sesuatu itu diharamkan, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan yang diharamkan itu diharamkan juga. Misalnya minum arak, bukan hanya minumnya yang diharamkan, tapi juga yang memproduksinya, yang menjualnya, yang membelinya, yang duduk bersama orang yang minum tersebut juga diharamkan.
Demikian juga halnya dengan masalah zina. Oleh karena itu maka syariat Islam memberikan tuntunan pencegahan dari perbuatan zina, karena Allah Maha Tahu tentang kelemahan manusia.
Berikut ini adalah pencegahan agar kita tidak terjerumus ke dalam perzinahan :
  1. Dilarang laki dan perempuan yang bukan mahram untuk berdua-duaan. Nabi Saw bersabda : “Apabila laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berdua-duaan, maka yang ketiga adalah setan.” Setan juga pernah mengatakan kepada Nabi Musa AS bahwa apabila laki dan perempuan berdua-duaan maka aku akan menjadi utusan keduanya untuk menggoda mereka. Ini termasuk juga kakak ipar atau adik perempuan ipar.
  2. Harus menjaga mata atau pandangan, sebab mata itu kuncinya hati. Dan pandangan itu pengutus fitnah yang sering membawa kepada perbuatan zina. Oleh karena itu Allah berfirman : “Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka memalingkan pandangan mereka (dari yang haram) dan menjaga kehormatan mereka dan katakanlah kepada kaum wanita hendaklah mereka meredupkan mata mereka dari yang haram dan menjaga kehormatan mereka (An-Nur : 30-31).
  3. Diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat mereka, dan dilarang mereka untuk memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk suaminya. Dalam hadits dikatakan bahwa wanita yang keluar rumah dengan berpakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, memakai minyak wangi baunya semerbak, memakai make up dan sebagainya, setiap langkahnya dikutuk oleh para malaikat, dan setiap laki-laki yang memandangnya sama dengan berzina dengannya. Di hari kiamat nanti perempuan seperti itu tidak akan mencium baunya surga (apalagi masuk surga).
  4. Dengan ancaman bagi yang berpacaran atau berbuat zina. Misalnya Nabi bersabda : “lebih baik memegang besi yang panas daripada memegang atau meraba perempuan yang bukan istrinya (kalau ia tahu akan berat siksaannya). Dalam hadits yang lain : “Barangsiapa yang minum (minuman keras) atau berzina, maka Allah akan melepas imannya dalam hatinya, seperti seseorang melepaskan peci dari kepalanya (artinya kalau yang sedang berzina itu meninggal ketika berzina, ia tidak sempat bertobat lagi, maka dia meninggal sebagai orang kafir yang akan kekal di neraka).
Oleh karena itu Syekh Sharwi menggambarkan : seandainya ada seorang wanita cantik yang sudah hampir telanjang di sebuah kamar, kemudian ditawarkan kepada seorang pemuda … “Maukah kamu saya kasihkan perempuan itu untuk kamu semalam suntuk, tapi besok pagi saya akan masukan kamu ke kamar yang sebelahnya, yang penuh dengan api, apakah mungkin anak muda itu akan mau untuk menikmati tubuh wanita semalam suntuk kemudian digodok keesokan harinya dalam api?
Nah ketika kita tergoda untuk berbuat zina atau minum, coba bayangkan kalau kita meninggal ketika itu, bagaimana nasib kita? Tiada dosa yang lebih besar setelah syirik kepada Allah daripada meneteskan air mani dalam suatu tempat (kehormatan) yang tidak halal baginya. Neraka Jahannam mempunyai “Tujuh pintu gerbang” (QS. Al-Hijr : 44), dan pintu gerbang yang paling panas, dahsyat, seram, keji, dan bau adalah diperuntukan bagi orang-orang yang suka berzina setelah dia tahu bahwa zina itu haram.
Sebagaimana kita yakini sebagai seorang muslim bahwa segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah, mesti mempunyai dampak yang negatif di masyarakat. Kita lihat saja di Amerika Serikat, bagaimana akibat karena adanya apa yang disebut dengan free sex, timbul berbagai penyakit. Banyak anak-anak yang terlantar, anak yang tidak mengenal ayahnya, sehingga timbul komplikasi jiwa dan sebagainya. Oleh karena itu, jalan keluar bagi para pemuda yang tidak kuat menahannya adalah :
  1. Menikah, supaya bisa menjaga mata dan kehormatan.
  2. Kalau belum siap menikah, banyaklah berpuasa dan berolahraga
  3. Jauhkan mata dan telinga dari segala sesuatu yang akan membangkitkan syahwat
  4. Dekatkan diri dengan Allah, dengan banyak membaca Al-Qur’an dan merenungkan artinya. Banyak berzikir, membaca shalawat, shalat berjamaah di Masjid, menghadiri pengajian-pengajian dan berteman dengan orang-orang yang shaleh yang akan selalu mengingatkan kita kepada jalan yang lurus.
  5. Dan ingat bahwa Allah telah menjanjikan kepada para anak muda yang sabar menahan pacaran dan zina yaitu dengan bidadari, yang kalau satu diantaranya menampakkan wajahnya ke alam dunia ini, setiap laki-laki yang memandangnya pasti akan jatuh pingsan karena kecantikannya. Coba anda bayangkan saja siapa menurut anda wanita yang paling cantik di alam dunia ini, maka pastilah bidadari itu entah berapa juta kali lebih cantik dari wanita yang anda bayangkan itu.
 artikel ini bersumber dari:
Media Salafi