Laman

Jumat, 06 Januari 2012

Apakah Menurut Islam Onani Itu Zina?

Apakah Onani Sama Dengan Zina
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam permasalahan onani :
1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah swt
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7)
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.
3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.
4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah swt
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya :
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29)
5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.
6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426)
Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
Adapun apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam dosa besar ?
Imam Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika dibedakan dengan dosa kecil :
Dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang Allah akhiri dengan neraka, kemurkaan, laknat atau adzab, demikian pula pendapat Imam al Hasan Bashri.
Para ulama yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah swt dengan neraka atau hadd di dunia.
Abu Hamid al Ghozali didalam “al Basiith” mengatakan bahwa batasan menyeluruh dalam hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean dan peremehan suatu dosa maka ia termasuk kedalam dosa besar.
Asy Syeikhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah didalam “al Fatawa al Kabiroh” menyebutkan bahwa setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah dosa besar.
Adapun diantara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan didalam Al Qur’an maupun Sunnah. Para pelakunya pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah swt melaknat orang yang merubah batas-batas tanah. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal 113)
Dari beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah termasuk kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus menerus atau menjadi suatu kebiasaan.
Hendaknya seorang muslim tidak berfikir kecilnya dosa suatu kemasiatan yang dilakukannya akan tetapi terhadap siapa dia bermaksiat, tentunya terhadap Allah swt yang Maha Besar lagi Maha Mulia.
Apakah Onani Mesti Dengan Menggunakan Tangan
Pada asalnya istimna’ (masturbasi) adalah mengeluarkan mani bukan melalui persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya. (Mu’jam Lughotil Fuqoha juz I hal 65)
Masturbasi adalah menyentuh, menggosok dan meraba bagian tubuh sendiri yang peka sehingga menimbulkan rasa menyenangkan untuk mendapat kepuasan seksual (orgasme) baik tanpa menggunakan alat maupun menggunakan alat.
Sedangkan onani mempunyai arti sama dengan masturbasi. Namun ada yang berpendapat bahwa onani hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan istilah masturbasi dapat berlaku pada perempuan maupun laki-laki. (sumber : situs.kesrepro.info)
Namun didalam buku-buku fiqih kata istimna’ (onani) ini adalah mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan baik tangannya, tangan istri atau tangan budak perempuannya.
Adapun mengeluarkan air mani dengan alat (sarana) tertentu selain tangan pada asalnya tidaklah berbeda dengan istmina’ dikarenakan subsatansi perbuatan itu adalah sama, yaitu sama-sama mengeluarkan mani untuk mendapatkan satu kenikmatan apakah dikarenakan kondisi terpaksa atau tidak, sehingga hukumnya bisa disamakan dengan hukum onani yang menggunakan tangan.
Ibnu ‘Abidin menyebutkan bahwa “Perkataan onani itu makruh” adalah secara zhahir ia adalah makruh yang tidak sampai haram. Hal itu dikarenakan bahwa kedudukan onani seperti orang yang mengeluarkan mani baik dengan merapatkan kedua paha atau menekan perutnya. (Roddul Mukhtar juz XV hal 75)
Adapun mengeluarkan mani dengan menonton film-film porno maka ini lebih berat dari sekedar onani dikarenakan ia telah menyaksikan aurat orang lain yang tidak halal baginya. Pada hakekatnya melihat aurat orang lain melalui menonton film porno sama dengan melihat auratnya secara langsung dan ini adalah haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar